MATERI PERTEMUAN 4 KELAS XII
4. Perspektif Asy'ariyah
Abu Hasan al-Asy’ari, memiliki definisi keimanan yang berbeda-beda, jika dilihat berbagai karyanya. Dalam Maqalat, Iman didefinisikan sebagai Qoul dan ‘amal, dan dapat berkurang juga bertambah. Sementara dalam al-Luma’ didefinisikan sebagai taṣdīq billāh. Argumentasinya, karena kata “Mukmin”, memiliki hubungan makna dengan kata Ṣadiqin, sebagaimana tercantum dalam Q.S. Yusuf {12}:17.
Sementara itu, al-Syahrastani, mencoba memadukan kedua definisi Asyariah tersebut, bahwa: “… Iman (secara esensial) adalah taṣdīq bi al-janan (membenarkan dengan qalbu). Sedang mengatakan dengan lisan (qawl) dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al arkan) sekadar furu’ saja.
Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan membenarkan utusan-utusan Nya beserta yang mereka bawa darinya, Iman orang semacam ini merupakan Iman yang ṣahih …. Dan seseorang tidak akan tanggal keimanannya, kecuali jika mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”
Dengan demikian, Iman menurut Asyariah, hanyalah taṣdīq, karena taṣdīq merupakan hakikat dari makrifah terhadap Allah SWT, sebesar apapun dosa yang dilakukan oleh seseorang, selama masih ada taṣdīq di dalam dirinya, maka ia tetap dikatakan beriman, meskipun keimanannya tidak sempurna lagi karena dosa-dosanya.
Adapun iqrār bi lisan, merupakan syarat Iman, tetapi tidak termasuk dalam kategori hakikat Iman (hakikat Iman adalah taṣdīq). Hal ini berdasarkan Q.S. an-Nahl {16}: 106.
Asyariah juga berkeyakinan, bahwa Iman bisa bertambah dan bisa berkurang (tidak seperti Khawarij, yang menyatakan bahwa Iman itu tetap). Perubahan kualitas Iman tersebut, terletak pada kedalaman hati seseorang terhadap Allah SWT dan Rasul Nya. Hal tersebut berdasarkan pada Q.S. al-Anfal {8}: 2.
Berkaitan dengan dosa Mukmin yang berbuat dosa besar, jika ia wafat sebelum bertaubat kepada Allah SWT, maka hukumnya dikembalikan kepada Allah SWT. Apakah ia akan dimaafkan karena rahmat Allah SWT, atau mendapatkan syafa’at dari Rasulullah Saw, atau mungkin ia akan disiksa sebanyak dosa yang ia lakukan, lalu dimasukkan ke dalam sorga dengan rahmat Allah SWT.
Mukmin yang berdosa besar juga tidak mungkin kekal bersama orang-orang kafir, karena wahyu telah menjelaskan bahwa akan dikeluarkan dari neraka, siapapun yang masih ada Iman di dalam dirinya, meskipun sebesar biji zarrah pun.
5. Perspektif Maturidiyah
Dalam masalah keimanan, Maturidiah samarkand berpendapat bahwa Iman merupakan taṣdīq bi al-Qalb, bukan semata-mata Iqrār billisan. Abu Mansur mendasarkan argumentasinya tersebut pada Q.S. al-Hujurat {49}: 14.
Taṣdīq bi al-Qalb dalam pandangan Maturidi samarkand harus didasari dengan makrifah, yaitu hasil penalaran akal pikiran, bukan sekedar wahyu. Hal ini berdasarkan pada QS al-Baqarah {2}: 260.
Meskipun demikian, makrifah bukan menjadi esensi Iman, tapi penyebab lahirnya Iman Adapun Maturidiah bukhoro, menjelaskan bahwa Iman adalah taṣdīq bi qalb dan taṣdīq bi lisan.
Artinya pengakuan lisan merupakan bagian dari esensi Iman. Orang mukmin yang berbuat dosa besar, menurut al-Maturidi tidaklah keluar dari Islam, tetap mukmin, meskipun diangap sebagai sosok yang durhaka.
Bagi Maturidiah, tidak ada posisi antara kafir dan mukmin, tidak ada yang disebut al-Manzilu baina Manzilatain, karena al-Qur’an tidak pernah menyebutkan hal tersebut. Oleh sebab itu, mukmin berdosa besar tidaklah kekal di neraka, tidak sebagaimana orang-orang kafir dan Musyrīk.
6. Perspektif Syiah
Ada beberapa sekte syiah yang doktrinnya menyangkut nilai-nilai keimanan dan dosa besar. Syiah Sabi’ah misalnya, menjelaskan bahwa rukun Iman adalah: Iman kepada Allah SWT, tiada Tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad Saw utusan Allah SWT; Iman kepada surga; Iman kepada neraka; Iman kepada hari kebangkitan; Iman kepada pengadilan; Iman kepada para Nabi dan Rasul; Iman kepada Imam, percaya, mengetahui dan membenarkan imam zaman.
Dalam pandangan Syiah sab’iyah, keimanan hanya bisa diterima apabila sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu melalui walayah (kesetiaan) terhadap Iman zaman. Konsep keimanan syiah ada yang lebih ekstrim lagi, yaitu keimanan syiah Ghulat (berlebihan).
Syiah ghulat mempercayai Ali R.a sebagai Nabi, bahkan lebih tinggi derajatnya dari Nabi Muhammad Saw. Lebih ekstrim lagi, mereka memposisikan Ali R.a pada derajat Tuhan. Adapun terkait dengan mukmin yang berbuat dosa besar, hal tersebut dikemukakan oleh syiah zayidiyah. Mereka berpendapat bahwa jika pelaku dosa besar belum bertaubat dengan taubatan nasuha, maka mereka kekal di dalam neraka. (Bukakabar/Admin)
Komentar0