MATERI PERTEMUAN 3 KELAS XII
A. Pengantar Pemikiran
Persoalan kafir mengkafirkan, dimulai sejak peristiwa tahkim -sebuah peristiwa yang mengantarkan pada peperangan 2 sahabat terkemuka, yaitu Ali R.a dan Muawwiyah R.a-. Pengkafiran, ini dilakukan oleh kaum Khawarij terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim. Mereka beranggapan bahwa tahkim sebuah keputusan yang batil, maka kafirlah orang-orang yang berada di dalamnya, dan yang mendukung keputusan tersebut.
Konsep pengkafiran yang berkaitan dengan tahkim ini, kemudian berkembang menjadi pengkafiran terhadap para pelaku dosa besar oleh kaum Khawarij. Pada akhirnya, penetapan keputusan bagi para pelaku dosa besar (mukmin), tidak hanya menjadi sorotan kaum Khawarij,tetapi juga menjadi sorotan kaum Murjiah dan Muktazilah.
B. Rincian Pemikiran
1. Perspektif Khawarij
Secara umum, kaum Khawarij adalah mereka yang mengkafirkan orang orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, kemudian dua hakim tahkim (Abu Musa al-‘Asy’ari dan Amr bin al-aṣ) juga orang-orang yang membenarkan keputusan mereka, dianggap sebagai kafir. Pemikiran ekstrim tersebut lahir dengan mengkambing hitamkan firman Allah SWT Q.S. al-Maidah {5}: 44.
Pemikiran kaum Khawarij tentang dosa besar dan keimanan, terlihat lebih ektrem dibanding dengan pemikiran lainnya. Bagi golongan ini, siapapun yang beriman, tetapi tidak melaksanakan perintah agama, bahkan melakukan dosa, maka ia dianggap sebagai kafir. Hal ini, karena dalam pandangan mereka, amal itu bagian dari keimanan (al-‘amalu juz’uminal Iman).
2. Perspektif Murjiah
Menyikapi kaum Khawarij yang sering mengkafirkan Muslim yang lain, maka Murjiah memilih pemikiran yang berbeda. Bagi mereka, Iman itu Iqrār dan Taṣdīq. Iman juga tidak bertambah dan tidak berkurang.
Dalam masalah dosa besar, atau bahkan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang mukmin, Murjiah tetap menganggapnya sebagai mukmin. Murjiah yang lebih ekstrim berpendapat, bahwa keimanan itu terletak di hati, meskipun seseorang menyatakan kufr dalam ucapan, menyembah berhala, berperangai seperti Yahudi dan Naṣrani di negara Islam, ia tetap Mukmin. Jelaslah, bahwa keimanan bagi golongan ini, tidak ada kaitannya dengan amal perbuatan, tapi cukup dengan meyakini saja. (Bukakabar/Admin)
3. Perspektif Muktazilah
Berbeda dengan Murjiah dan Khawarij, kelompok Muktazilah benar-benar berada dalam poros tengah dalam penentuan, kafir atau tidaknya seorang mukmin yang berbuat dosa besar. Ketika di Majlis Hasan Basri, Waṣil bin Atha’ menyanggah jawaban beliau yang mengatakan bahwa orang mukmin berbuat dosa besar disebut Munafik, karena menurut Waṣil, orang Mukmin berbuat dosa besar, tidak bisa lagi dikatakan sebagai mutlak mukmin, dan tidak pula bisa dikatakan sebagai mutlak kafir, tetapi ia berada di antara dua tempat (al-Manzilatu bainal-Manzilatain).al-Manzilu baina al Manzilatain adalah posisi di antara Iman dan kafir, atau disebut dengan fasik.Bahkan Waṣil bin Atha pernah mengatakan:”orang mukmin yang berdosa besar, jika ia wafat sebelum bertaubat, maka akan kekal di dalam neraka, namun akan diringankan siksanya. Dengan demikian, sesungguhnya bisa mafhum bahwa Muktazilah (sebagaimana kaum Khawarij), mereka juga termasuk penjunjung amal dalam ke Imanan.
Hanya saja, kaum Muktazilah lebih ringan, dengan tidak menetapkan kafir kepada mukmin pelaku dosa besar, tetapi hanya diberi gelar fasik.Muktazilah memang mengatakan bahwa Iman itu adalah amal. Bukan taṣdīq.
Namun tetap saja, sepertinya mereka tidak bisa memisahkan antar amal dan taṣdīq. Buktinya orang Mukmin yang berdosa besar tidak lantas dihukumi kafir, tetapi masih ada pertimbangan karena taṣdīqnya bahwa Allah SWT Tuhan, dan Muhammad Saw adalah Rasulullah. Jadi Iman menurut Muktazilah sesungguhnya ialah pengakuan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan membuktikan dengan amal perbuatan.
Komentar0