BUA0GUMiGfG7TfY6TSY7Tpr7GA==

Teks Deskripsi - Nama Keluarga

 

Teks Deskripsi - Nama Keluarga

Saat mempelajari sensus penduduk, aku dan teman-teman di kelas berlatih mengisi formulir sesuai data. Banyak kolom yang harus kami isi termasuk nama ayah dan nama ibu. Salah satu temanku heran, mengapa nama belakangku sama dengan nama belakang ibuku, bukan ayahku. Katanya, 

“Biasanya nama anak mengikuti nama ayahnya, seperti Miko Sirait yang bersuku Batak, ayahnya bernama Tegar Sirait. Ada juga anak yang tidak menggunakan nama keluarga. Namaku, Anin Prasetyani, berbeda sama sekali dengan nama orang tuaku. Aku heran, kok nama belakangmu mengikuti nama ibumu?” 

 Iya juga, ya. Selama ini aku tidak memikirkannya. Pertanyaan Anin membuatku penasaran. 

Di rumah, meluncurlah pertanyaanku, “Bu, mengapa aku memakai nama Chaniago, bukan nama Jambak seperti nama Ayah?” 

Ibu tertegun sejenak, tetapi segera berbicara dengan penuh semangat. Kebudayaan Minangkabau terkenal dengan sistem matrilineal, yaitu menetapkan garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Jadi, marga anak akan mengikuti marga ibu. Budaya ini sudah lama berlangsung dan masih bertahan hingga kini. 

 Bagi orang Minangkabau, garis keturunan erat sekali hubungannya dengan adatnya. Perempuan dewasa atau ibu memiliki kedudukan yang tinggi dan menjadi lambang kehormatan keluarga. Ibu juga memiliki peran krusial dalam mengambil keputusan dalam keluarga. 

“Wah, anak Ibu dua-duanya laki-laki. Ibu tak punya penerus keturunan. Apakah marga Chaniago bakal lenyap?” tanyaku. “Perempuan bermarga Chaniago bukan hanya Ibu, Arifin,” sahut Ibu sambil tertawa. 

Benar juga. Ibu memiliki beberapa sepupu perempuan dan sejumlah kerabat jauh. “Ibu tidak menyesal tidak punya anak perempuan?” aku menggodanya. Ibu tersenyum dan melanjutkan pembicaraannya tentang masyarakat Minangkabau. “Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau ini adalah paruik. Setelah Islam masuk ke Minangkabau, istilah ini disebut kaum.” 

“Dahulu, mereka tinggal dalam sebuah rumah gadang yang bisa didiami oleh banyak orang. Ikatan batin sesama anggota kaum ini kuat sekali. Mereka bersama-sama menjaga kehormatan kaumnya dengan semboyan orang sekaum sehina semalu. 

Anggota yang melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum. Karenanya, seluruh anggota selalu diajak menjaga kehormatan dan tidak menyimpang dari peraturan. Para perempuan yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” kata Ibu lagi. “Masih penasaran?” tanya Ibu. Aku menjawabnya dengan pelukan. Sebagian penjelasan Ibu tidak kupahami. 

Belasan tahun hidup bersama Ibu, aku hanya tahu bahwa dendeng balado buatannya enak. Aku baru tahu bahwa Ibu sangat mencintai budayanya, walau dia sudah merantau jauh dari kampung halaman. Ibu bahkan menyematkan nama marganya pada namaku dan nama adikku, walaupun kebiasaan tersebut tidak dilakukan oleh semua orang Minangkabau.

Komentar0

Type above and press Enter to search.